MENGAPA HARUS MENULIS

Maret 03, 2019


“Menulislah, minimal satu buku dalam hidup kita.” Demikian status salah satu kawan fecebookku.

“situ sih emang penulis, laki-laki pula. Lha gue? Emak-emak olmos forti yers, anak tiga, blog aja terbengkalai, diari banyakan kosongnya. Gimane mo nulis buku?” Batin berdalih. (emak-emak jago ngeles).



“Hhmmmm,, seperti itu?” sanggah hatiku pula.
Selama ini apa yang sudah ku lakukan hingga bisa mengatakan bahwa menulis buku itu sulit?
Sudah seberapa sering dan berapa lama berlatih menulis?
Sudah bergabung dengan komunitas penulis mana saja?

Tiga pertanyaan pun tak mampu kujawab.

Kupandangi deretan buku-buku yang ku tempatkan bersampingan dengan TV. Nama-nama penulis yang tertera di sebagian barisan buku tersebut adalah wanita. Bahkan beberapa dari mereka yang berstatus ibu rumah tangga. Bahkan sebagian karya mereka telah di filmkan.

Asma Nadia. Ibu dari dua anak ini telah menerbitkan buku-buku best sellernya. Bahkan beberapa telah difilmkan. Masih layakkkah menggunakan kata “ibu rumah tangga” sebagai alasan tidak mampu menulis? Dengan tulisannya, Asma Nadia tak hanya menghipnotis para pembaca dengan pilihan diksi-diksi nan indah luar biasa, namun mampu menggerakkan para wanita untuk mampu menulis melalui forum lingkar pena yang dibentuknya sejak dulu.

Begitu pula dengan sang kakak, Helvy Tiana Rosa. Beliau pun seorang Ibu yang produktif menulis. Novel yang dituliskannya pun tak hanya sekedar indah dalam kata, namun sarat makna yang patut direnungkan dan diteladani. Karya-karyanya selalu menghadirkan decak kagum dari para pembacanya. Bahkan isu-isu sosial di masyarakat mampu ia ramu dalam sebuah puisi yang cetar menggelegar dengan kepiawainnya memilih prosa.

Penulis lainnya adalah Lara Fridani. Beliau menuliskan buku edukasi anak-anak terutama anak usia dini dengan Bahasa yang mudah di mengerti, karena yang dituliskannya bersumber dari kisah keseharian. Penyampaian melalui Bahasa yang ringan tanpa adanya kesan menggurui, namun penuh kata nasihat.

Banyak kisah-kisah inspiratif yang patut kita teladani dari tulisan-tulisan mereka. Banyak do’a mulia terangkum dalam kisahnya. Banyak tergambar cermin perilaku untuk kita bermuhasabah. Banyak nilai-nilai edukasi yang patut dipahami dan diaplikasikan dalam keseharian.  Aaaahhhh,, begitu banyak manfaat yang dapat digali dari sebuah tulisan yang tertuang dalam buku.

Baru tiga nama yang ku tuliskan, namun telah membuatku tertunduk malu. Karena tak berusaha maksimal untuk mewujudkan satu cita-cita dalam hidupku, yaitu menjadi penulis. Bukan hanya kurang upaya, tapi juga minim do’a. (Ya Robb… Ampuni hambaMu yang masih sering lalai dalam mengisi waktu). :'(

Tak terbayangkan bila orang-orang berilmu hanya menyebarkan ilmunya melalui lisan. Sementara daya ingat manusia terbatas adanya. Tentu pengetahuan pun kian lama akan semakin terkikis. Oleh sebab itu, semakin jelaslah pentingnya menulis. Seperti yang dikatakan Sayyidina Ali bin Abi Thalib yaitu “Ikatlah ilmu dengan menulis.”. demikian pula yang dikatakan oleh imam Syafii bahwa “Ilmu itu bagaikan hasil panen/buruan didalam karung, menulis adalah ikatannya.” Kita bisa membaca Al Qur’an pun tak lepas dari jasa para penulis dengan ridho-Nya.

Tebaran manfaat dari penulis melalui buku  membuatku cemburu. Kecemburuan positif yang melecutkan kembali keinginan berbagi pengalaman dan pengetahuan yang bermanfaat melalui rangkaian kata.

Bismillah...
Semoga Aku bisa jadi penulis yang bermanfaat.

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images